Komunikasi non verbal
Antropolog Edward T. Hall (1973)
berpendapat bahwa budaya adalah komunikasi dan komunikasi adalah budaya. Dengan
kata lain, "tak mungkin memikirkan komunikasi tanpa memikirkan konteks dan
makna kulturalnya" (Kress, 1993:13).
Sebagaimana
kata-kata, kebanyakan isyarat nonverbal juga tidak universal, melainkan terikat
oleh budaya, jadi dipelajari, bukan bawaan. Sedikit saja isyarat nonverbal yang
merupakan bawaan. Kita semua lahir dan mengetahui bagaimana tersenyum, namun
kebanyakan ahli sepakat bahwa dimana, kapan, dan kepada siapa kita menunjukan
emosi ini dipelajari, dan karenanya dipengaruhi
oleh konteks dan budaya[1].
Kita belajar menatap, memberi isyarat, memakai parfum, menyentuh berbagai
bagian tubuh orang lain dan bahkan kita diam. Cara kita bergerak dalam ruang
ketika berkomunikasi dengan orang lain didasarkan terutama pada respon fisik
dan emosional terhadap rangsangan lingkungan. Sementara kebanyakan perilaku
verbal kita bersifat eksplisit dan diproses secara kognitif, prilaku nonverbal
kita bersifat spontan, ambigu, sering berlangsung cepat, dan diluar kesadaran
dan kendali kita. Karena itulah Edward T. Hall menemani bahasa nonverbal ini
sebagai "bahasa diam" (silent language) dan "dimensi
tersembunyi" (hidden dimension)
suatu budaya. Disebut diam dan tersembunyi, karena pesan-pesan nonverbal
tertanam dalam konteks komunikasi. Selain isyarat situasional dan relasional
dalam transaksi komunikasi, pesan nonverbal memberikan kita isyarat-isyarat
kontekstual. Bersama isyarat verbal dan
isyarat kontekstual, pesan nonverbal membantu kita menafsirkan seluruh makna pengalaman
komunikasi. Misalnya bahasa tubuh, bergantung pada jenis kelamin, agama, usia,
pekerjaan, pendidikan, kelas sosial, tingkat ekonomi, lokasi geografis dan sebagainya.
Beberapa subkuktur tari dan musik menunjukan kekhasan perilaku nonverbal penari
atau penyanyinya ketika mereka sedang menari atau menyanyi. Bahasa tubuh penari
yang menarikan tari Bali sangat khas, sekhas bahasa tubuh penari India ketika
menarikan tarian India. Breakdance pernah
populer di kalangan kaum kulit hitam Amerika. Bahasa tubuh penyanyi dangdut
banyak menggoyangkan pinggul. Penyanyi dangdut wanita sering menggerak-gerakkan
jari-jari tangannya seraya menurunkannya dari atas ke bawah ketika ia menyanyi.[2]
Jenis-jenis
Komunikasi Nonverbal
1.
Kinestik
secara sederhana bisa diartikan posisi tubuh dan gerakan tubuh. Tubuh kita
mengekspresikan komunikasi.
a. Isyarat Tangan, kita sering
menyertai ucapan kita dengan isyarat tangan.[3]
Penggunaan isyarat tangan dan maknanya berlainan dari budaya ke budaya.
Meskipun dibeberapa negara, telunjuk digunakan untuk menunjuk sesuatu, hal itu
tidak sopan di Indonesia. Orang batak seperti orang Amerika, biasa menunjuk
dengan telunjuk tanpa bermaksud kasar pada orang yang dihadapinya. Begitu juga
orang betawi, yang tidak jarang menunjukan dengan memonyongkan mulut, sambil
berucap, "ke sono-no". Beberapa suku Afrika yang menunjuk dengan
mencibirkan bibir bawah menganggap cara menunjuk Amerika kasar. Di Indonesia,
menempelkan telunjuk dengan posisi miring di kening untuk menunjukkan bahwa
seseorang itu gila atau sinting, padahal di negara lain, hal itu mungkin
sekedar menandakan bahwa orang sedang berpikir keras. Untuk menunjuk diri
sendiri, orang Indonesia menunjuk dadanya dengan telapak tangan atau
telunjuknya, sedangkan orang Jepang menunjuk hidungnya dengan telunjuk. Di
Amerika, isyarat "beres" "oke" atau "bagus" adalah
suatu lingkaran yang dibentuk oleh ibu jari dan telunjuk dengan ketiga jari
lainnya berdiri, sedangkan di Paris isyarat itu berarti "kamu tidak
berharga" dan di Yunani itu berarti ajakan seksual yang tidak sopan, di
Brazil isyarat itu kurang ngajar dan menghina, sedangkan di Jepang, Korea, dan
Filiphina isyarat tersebut berarti "uang".[4]
b. Postur tubuh dan posisi kaki.
Seseorang yang percaya diri akan berdiri tegap, sementara orang yang tidak
percaya diri akan cenderung membungkukkan badan. Posisi tubuh juga menentukan
status seseorang[5].
Selama berabad-abad rakyat tidak boleh berdiri atau duduk lebih tinggi dari
kaki raja atau kaisanya. Orang yang berstatus tinggi umumnya mengatur postur
tubuhnya secara leluasa daripada orang yang berstatus rendah. Contohnya di
Jepang dan di Indonesia, orang yang membungkukkan badannya lebih rendah ketika
berjabat tangan dengan orang lain menunjukkan statusnya lebih rendah pula,
sedangkan hal itu dianggap tidak demokratis, berlebihan, dan menjengkelkan oleh
orang Amerika. Penganut Shinto di Jepang berlutut didepan altar luar rumah
sebelum mereka membuat sajian dan berdoa.
c. Ekspresi Muka. Masuk akal bila
banyak orang menganggap perilaku nonverbal yang paling banyak berbicara adalah
ekspresi wajah, khususnya pandangan mata meskipun mulut tidak berkata-kata[6].
Contohnya perilaku mata sedemikian penting dalam budaya korea sehingga orang
korea mempunyai kata khusus (nuicgee)
untuk menekankan pentingnya perilaku itu. Orang korea percaya bahwa mata adalah
jawaban sebenarnya mengenai apa yang dirasakan dan dipikirkan orang lain. Orang
Amerika terbiasa memandang orang lain untuk menunjukan niat baik. Mereka
menganggap orang yang tidak menatap lawan bicara orang yang mencurigakan, tidak
jujur, gugup dll. Namun perilaku orang Jepang justru bersebrangan dengan
perilaku orang Amerika, pandangan mata orang Jepang sulit ditafsirkan, bagi
mereka kontak mata tidak terlalu penting. Saat berbicara, orang Jepang biasanya
memandang hidung atau leher lawan bicaranya. Orang Jawa dan orang Sunda
tradisional tampaknya berprilaku mirip dengan orang jepang, sedangkan orang
Batak seperti orang Amerika. Baik orang Jepang maupun orang Jawa menganggap
menatap orang lain sebagai hal yang tidak sopan.[7]
2.
Sentuhan.
Ilmu mengenai sentuhan disebut haptics. Haptics berasal dari bahasa Yunani
haptesthai yang berarti menyentuh. Sentuhan akan dipahami berbeda tergantung
dari budaaya masyarakatnta. Artinya, sebuah sentuhan bisa dipahami sebuah
keakraban disebuah budaya, tetapi bisa dipahami penghinaan. Contohnya ketika
ada orang yang habis naik haji, saat para tamu mengucapkan selamat datang
dirumahnya, disambut dengan bersalaman disertai pelukan hangat. Setelah beberapa
minggu kemudian, hal demikian tidak dilakukan lagi ketika bertemu. Pelukan dan
cium pipi kanan dan kiri bukanlah sentuhan khas Indonesia, tetapi itu khas
Negara Saudi Arabia. Bisa jadi orang yang habis naik haji tersebut terpengaruh
budaya Arab. Namun setelah pulang ke tanah air, kembali ke selera asal budaya
khas Indonesia. Jadi, budaya sentuhan pada budaya tertentu sangat susah
dilakukan pada budaya lain. Semua memiliki ciri khas masing-masing.[8]
3.
Parabahasa.
Perhatikan seseorang yang sedang berbicara, bukan pada apa yang dikatakan,
fokuskan pada aktivitas bagaimana kecepatan suara, pilihan kata yang dipakai,
dialek yang digunakan, volume suara, dan intonasi. Aktivitas yang diamati
tersebut dinamakan parabahasa (paralanguage)
atau vokalika (vocalics). Contohnya
dalam sebuah forum ada seseorang yang pilihan katanya di campur-campur (bicara
dengan bahasa indonesia diselingi bahasa Inggris atau bahkan bahasa asing
lainnya). Parabahasa ini untuk menunjukkan kelas seseorang juga. Cara bicara
orang Jawa lebih lembut ketimbang orang batak. Bahkan ketika orang batak bicara
biasa terkesan seperti orang yang marah atau menantang karena nada berbicata
orang batak yang tinggi. Perbedaan pengucapan dengan pemahaman akan berbeda
sebab sebagaimana dikatakan Joseph A. Devito (2011), "parabahasa itu
mengacu pada cara kita mengucapkan, bukan apa yang kita ucapkan"[9]
4.
Penampilan
fisik. Kesan seseorang akan terbangun dalam otaknya saat melihat pertama dan
sesuatu yang sifatnya fisik. Contohnya wanita Arab yang memakai jilbab panjang
dan bercadar dianggap shaleh karena telah menutup seluruh auratnya oleh orang
yang baru pertama kali melihatnya, padahal mereka bercadar untuk menghindari
debu di Arab. Di Amerika, seorang pengacara terkadang meminta terdakwa bertubuh
normal yang ditanganinya, terutama terdakwa perempuan, untuk mengenakan busana
yang lebih longgar, agar ia tampak lebih kurus.tujuannya agar penampilannya
mendapat simpati para hakim dan diberi hukuman lebih ringan.[10]
5.
Proksemik.
Proksemik (proxemics) adalah bahasa
nonverbal yang membahas tentang ruang dan bagaimana kita menggunakan ruang
untuk berkomunikasi. Setiap budaya mempunyai norma dalam menggunakan ruang.
Pada masyarakat tertentu ada budaya sungkem, ada juga tradisi minum teh untuk
menghormati tamu. Budaya masyarakat seperti ini tercermin dari ruangan yang
disediakan. Di Keraton Yogyakarta ada adat pisowanan agung (menghadap raja),
semua duduk dilantai kecuali raja. Tentu ruangannya diciptakan sedemikian rupa
sehingga adat keraton itu tetap terpelihara. Di Jepang ada budaya minum teh
dengan ruangan khusus yang disediakan. Jadi, setiap budaya memiliki norma dalam
menggunakan atau memanfaatkan ruang.[11]
6.
Kronemik.
Studi tentang waktu disebut dengan chronemics (kronemik). Secara ringkas,
kronemik bisa dikatakan bagaimana kita mempersepsikan dan menggunakan waktu
untuk mengidentifikasi identitas dan komunikasi. [12]
Misalnya saja, orang Indonesia sedang berjalan dengan orang Barat untuk suatu
tujuan. Ditengah jalan orang Indonesia ini ketemu dengan teman lamanya. Karena
lama tidak ketemu ngobrol kesana kemari sehingga menghabiskan waktu yang sudah
direncanakan. Orang Barat yang bersama anda itu bisa jadi jengkel dan
memberikan kritikan bahwa waktunya tersita dan menuduh orang indonesia tidak
menghargai waktu. Sementara itu, orang Indonesia merasa biasa saja, namanya
juga ketemu teman lama jadi untuk menghormati dan simbol keakraban ngobrol hal
biasa. Terjadilah percekcokan keduanya dengan tanpa ada jalan keluar. Orang
Indonesia pun menuduh bahwa oang Barat itu tidak bisa menghormati orang.
Problemnya bukan pada masalah siapa yang benar dan siapa yang salah, tetapi ada
pada perbedaan budaya dalam menghargai waktu[13].
7.
Keheningan.
Seseorang menggunakan keheningan untuk mengomunikasikan sesuatu pada orang
lain. Orang lain tentu akan menangkap makna yang berbeda-beda.
8.
Warna.
Warna menginformasikan pesan-pesan tertentu pada orang lain. Seseorang tidak
harus berkata lisan untuk menunjukan pesan tertentu ia cukup memakai warn
tertentu yang sudah disepakati oleh sebuah komunitas. Misalnya di Indonesia
warna menunjukan suasana emosional. Saat sedang berkabung orang-orang terbiasa
menggunakan pakaian warna hitam karena warna hitam identik dengan warna susah.
Warna juga menunjukkan afiliasi politik. Di Indonesia warna merah, biru,
kuning, orange hitam, putih, atau perpaduan warna tertentu menunjuk pada
afiliasi politik tertentu. Misalnya Megawati Soekarno Putri sering memakai
merah dalam setiap kesempatan karena bendera partainya berwarna mereka.[14]
9.
Artefak.
Artefak adalah benda apa saja yang dihasilkan kecerdasan manusia. Secara
historis artefak merupakan benda arkeologi atau peninggalan sejarah yang dibuat
dan dimodifikasi manusia. Artefak mengekspresikan identitas etnis. Indonesia
adalah negara dengan beragam suku, bahasa dan budaya. Masing-masing daerah
memiliki ciri khas benda atau senjata yang mencirikan daerah tersebut.[15]
Komunikasi
Non Verbal sebagai Proses Simbolik
Proses dengan mana manusia secara
arbitrer menjadikan hal-hal tertentu untuk mewakili hal-hal lainnya bisa
disebut proses simbolik. Kapanpun dua atau lebih manusia dapat berkomunikasi
satu sama lain, mereka dapat, berdasarkan persetujuan bersama, menjadikan
sesuatu sebagai mewakili sesuatu lainnya.[16]
Kita, sebagai manusia, secara unik bebas menghasilkan, mengubah dan menentukan
niali-nilai bagi simbol-simbol sesuka kita. Kebebasan dalam menciptakan
simbol-simbol bagi simbol-simbol lainnya adalah penting bagi apa yang kita
sebut proses simbolik.
Kemana pun kita berpaling, kita melihat
proses simbolik yang sedang berlangsung. Bulu-bulu unggas yang dipakai di
kepala atau strip strip pada lengan dapat dijadikan lambang kepangkatan negara,
salib dapat melambangkan kepercayaan. Proses simbolik menembus kehidupan
manusia dalam tingkat paling primitif dan juga tingkat paling beradab. [17]
Pada zaman Veblen, kulit berwarna coklat gelap menunjukkan
kehidupan di ladang pertanian dan pekerjaan diluar rumah lainnya. Namun dewasa
ini kulit yang pucat menunjukan keterkurungan di kantor-kantor dan pabrik-pabrik,
sementara kulit berwarna coklat gelap mengisyaratkan kehidupan yang senang-
tamasya ke Florida, Sun Valley, dan Hawai. Jadi kulit berwarna gelap karena
sinar matahari yang dulu dianggap buruk karena melambangkan kerja keras,
sekarang dianggap elok karena melambangkan kesenangan. Dan orang-orang berkulit
pucat di New York, Chicago, dan Toronto uang tak dapat bertamasya pada musim
dingin ke West Indies, merasa senang mencoklatkan kulit mereka dengan cairan
berwarna coklat tua dari apotek.
Makanan juga bersifat simbolik. Peraturan-peraturan makan
dalam agama katolik, yahudi, dan islam dilaksanakan untuk melambangkan ketaatan
pada agama. Makanan-makanan khusus digunakan untuk melambangkan
festival-festival dan peristiwa-peristiwa khusus hampir disetiap negeri.
Misalnya kue buah ceri atau Cherry pie pada hari lahir George Washington.[18]
Bahasa
Non Verbal dalam Proses Komunikasi Antar Budaya
Hubungan antara komunikasi nonverbal dan kebudayaan sangat
jelas karena keduanya dipelajari, diwariskan, dan melibatkan pengertian yang
harus dimiliki bersama.[19]
Banyak perilaku nonverbal dipelajari secara kultural.
Sebagaimana aspek verbal, komunikasi nonverbal juga atau ditentukan oleh
kebudayaan, yaitu sebagai berikut.
1. Kebudayaan menentukan perilaku
nonverbal yang mewakili atau melambangkan pemikiran, perasaan, keadaan tertentu
dari komunikator.
2. Kebudayaan menentukan waku yang
tepat atau layak untuk mengomunikasikan pemikiran, perasaan dan keadaan
internal. Jadi walaupun perilaku-perilaku yang memperlihatkan emosi ini banyak
bersifat universal, perbedaan kebudayaan dalam menentukan waktu, pelaku dan
tempat emosi-emosi itu dapat diperlihatkan
Pengenalan dan pemahaman tentang pengaruh kebudayaan pada
interaksi nonverbal merupakan salah satu kunci keberhasilan dalam komunikasi
antar budaya, karena alasan berikut.
1. Dengan mengerti pola-pola dasar
pengetahuan nonverbal dalam suatu kebudayaan, kita dapat mengetahui sikap dasar
dari suatu kebudayaan tersebut. Misalnya, dengan memperhatikan tindak-tanduk
para pegawai pria Jepang dalam membuat pertemuan di restoran pada malam hari,
kita dapat mempelajari sedikit tentang sikap mereka terhadap pekerjaan dan
wanita.
2. Pola-pola perilaku nonverbal dapat
memberikan "informasi" tentang sistem nilai suatu kebudayaan,
misalnya, konsep waktu kebudayaan dengan orientasi pada "doing" (aktif
melakukan sesuatu) [20]
, seperti AS akan cenderung menganggap situasi tanpa kata-kata sebagai
membuang-buang waktu. Bagi kebudayaan dengan orientasi pada "doing"
(keberadaan), suasana hening dalam pembicaraan memiliki nilai positif karena
penting untuk pemahaman diri dan kesadaran akan keadaan.
3. Pengetahuan tentang perilaku
nonverbal dapat membantu untuk menekan rasa etnosentrisme. Misalnya, kita
mungkin akan lebih penggunaan jarak ruang oleh orang lain, jika kita sadar akan
karakteristik kebudayaan yang mendasarinya, yang mencerminkan sesuatu tentang
pengguna dan kebudayaannya.[21]
[1] Deddy Mulyana, Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar, PT
Remaja Rosdakarya, Bandung, 2015, hlm. 343.
[2] Ibid., hlm. 344
[3] Ibid., hlm. 353
[4] Ibid., hlm.
355-359
[5] Nurudin, Ilmu Komunikasi, PT RajaGrafindo
Persada, Jakarta, 2016, hlm. 149.
[6] Deddy Mulyana,
op. cit. hlm. 372
[7] Deddy Mulyana,
op. cit. hlm. 375
[8] Nurudin, op.
cit. hlm. 151-153
[9] Nurudin, op.
cit. hlm. 155-154
[10] Deddy Mulyana
dkk, Komnikasi Media dan Masyarakat
Membeda Absurditas Budaya Indonesia, PT Remaja Rosdakarya, Bandung, 2016, hlm. 37.
[11] Nurudin, op.
cit. hlm. 166
[12] Nurudin, op.
cit. hlm. 167
[13] Nurudin, op.
cit. hlm. 170-171
[14] Nurudin, op.
cit. hlm. 178
[15] Nurudin, op.
cit. hlm. 179
[16] Deddy Mulyana
dan Jalaludin Rakhmat, Komunikasi Antar
Budaya, PT Remaja Rosdakarya, Bandung, 1993, hlm. 101.
[17] Ibid., hlm. 102
[18] Ibid., hlm. 103
[19] Aang Ridwan, Komunikasi Antar Budaya Mengubah Presepsi
dan Sikap dalam Meningkatkan Kreativitas Manusia, CV Pustaka Setia,
Bandung, 2016, hlm. 157.
[20] Ibid., hlm. 157
[21] Ibid., hlm. 158