Kamis, 30 November 2017

MATERI KOMUNIKASI LINTAS BUDAYA: Komunikasi Non Verbal Dalam Budaya

Komunikasi non verbal
            Antropolog Edward T. Hall (1973) berpendapat bahwa budaya adalah komunikasi dan komunikasi adalah budaya. Dengan kata lain, "tak mungkin memikirkan komunikasi tanpa memikirkan konteks dan makna kulturalnya" (Kress, 1993:13).  Sebagaimana kata-kata, kebanyakan isyarat nonverbal juga tidak universal, melainkan terikat oleh budaya, jadi dipelajari, bukan bawaan. Sedikit saja isyarat nonverbal yang merupakan bawaan. Kita semua lahir dan mengetahui bagaimana tersenyum, namun kebanyakan ahli sepakat bahwa dimana, kapan, dan kepada siapa kita menunjukan emosi ini dipelajari, dan karenanya dipengaruhi  oleh konteks dan budaya[1]. Kita belajar menatap, memberi isyarat, memakai parfum, menyentuh berbagai bagian tubuh orang lain dan bahkan kita diam. Cara kita bergerak dalam ruang ketika berkomunikasi dengan orang lain didasarkan terutama pada respon fisik dan emosional terhadap rangsangan lingkungan. Sementara kebanyakan perilaku verbal kita bersifat eksplisit dan diproses secara kognitif, prilaku nonverbal kita bersifat spontan, ambigu, sering berlangsung cepat, dan diluar kesadaran dan kendali kita. Karena itulah Edward T. Hall menemani bahasa nonverbal ini sebagai "bahasa diam" (silent language) dan "dimensi tersembunyi" (hidden dimension) suatu budaya. Disebut diam dan tersembunyi, karena pesan-pesan nonverbal tertanam dalam konteks komunikasi. Selain isyarat situasional dan relasional dalam transaksi komunikasi, pesan nonverbal memberikan kita isyarat-isyarat kontekstual.  Bersama isyarat verbal dan isyarat kontekstual, pesan nonverbal membantu kita  menafsirkan seluruh makna pengalaman komunikasi. Misalnya bahasa tubuh, bergantung pada jenis kelamin, agama, usia, pekerjaan, pendidikan, kelas sosial, tingkat ekonomi, lokasi geografis dan sebagainya. Beberapa subkuktur tari dan musik menunjukan kekhasan perilaku nonverbal penari atau penyanyinya ketika mereka sedang menari atau menyanyi. Bahasa tubuh penari yang menarikan tari Bali sangat khas, sekhas bahasa tubuh penari India ketika menarikan tarian India. Breakdance pernah populer di kalangan kaum kulit hitam Amerika. Bahasa tubuh penyanyi dangdut banyak menggoyangkan pinggul. Penyanyi dangdut wanita sering menggerak-gerakkan jari-jari tangannya seraya menurunkannya dari atas ke bawah ketika ia menyanyi.[2]

Jenis-jenis Komunikasi Nonverbal
1.      Kinestik secara sederhana bisa diartikan posisi tubuh dan gerakan tubuh. Tubuh kita mengekspresikan komunikasi.
a.       Isyarat Tangan, kita sering menyertai ucapan kita dengan isyarat tangan.[3] Penggunaan isyarat tangan dan maknanya berlainan dari budaya ke budaya. Meskipun dibeberapa negara, telunjuk digunakan untuk menunjuk sesuatu, hal itu tidak sopan di Indonesia. Orang batak seperti orang Amerika, biasa menunjuk dengan telunjuk tanpa bermaksud kasar pada orang yang dihadapinya. Begitu juga orang betawi, yang tidak jarang menunjukan dengan memonyongkan mulut, sambil berucap, "ke sono-no". Beberapa suku Afrika yang menunjuk dengan mencibirkan bibir bawah menganggap cara menunjuk Amerika kasar. Di Indonesia, menempelkan telunjuk dengan posisi miring di kening untuk menunjukkan bahwa seseorang itu gila atau sinting, padahal di negara lain, hal itu mungkin sekedar menandakan bahwa orang sedang berpikir keras. Untuk menunjuk diri sendiri, orang Indonesia menunjuk dadanya dengan telapak tangan atau telunjuknya, sedangkan orang Jepang menunjuk hidungnya dengan telunjuk. Di Amerika, isyarat "beres" "oke" atau "bagus" adalah suatu lingkaran yang dibentuk oleh ibu jari dan telunjuk dengan ketiga jari lainnya berdiri, sedangkan di Paris isyarat itu berarti "kamu tidak berharga" dan di Yunani itu berarti ajakan seksual yang tidak sopan, di Brazil isyarat itu kurang ngajar dan menghina, sedangkan di Jepang, Korea, dan Filiphina isyarat tersebut berarti "uang".[4]
b.      Postur tubuh dan posisi kaki. Seseorang yang percaya diri akan berdiri tegap, sementara orang yang tidak percaya diri akan cenderung membungkukkan badan. Posisi tubuh juga menentukan status seseorang[5]. Selama berabad-abad rakyat tidak boleh berdiri atau duduk lebih tinggi dari kaki raja atau kaisanya. Orang yang berstatus tinggi umumnya mengatur postur tubuhnya secara leluasa daripada orang yang berstatus rendah. Contohnya di Jepang dan di Indonesia, orang yang membungkukkan badannya lebih rendah ketika berjabat tangan dengan orang lain menunjukkan statusnya lebih rendah pula, sedangkan hal itu dianggap tidak demokratis, berlebihan, dan menjengkelkan oleh orang Amerika. Penganut Shinto di Jepang berlutut didepan altar luar rumah sebelum mereka membuat sajian dan berdoa.
c.       Ekspresi Muka. Masuk akal bila banyak orang menganggap perilaku nonverbal yang paling banyak berbicara adalah ekspresi wajah, khususnya pandangan mata meskipun mulut tidak berkata-kata[6]. Contohnya perilaku mata sedemikian penting dalam budaya korea sehingga orang korea mempunyai kata khusus (nuicgee) untuk menekankan pentingnya perilaku itu. Orang korea percaya bahwa mata adalah jawaban sebenarnya mengenai apa yang dirasakan dan dipikirkan orang lain. Orang Amerika terbiasa memandang orang lain untuk menunjukan niat baik. Mereka menganggap orang yang tidak menatap lawan bicara orang yang mencurigakan, tidak jujur, gugup dll. Namun perilaku orang Jepang justru bersebrangan dengan perilaku orang Amerika, pandangan mata orang Jepang sulit ditafsirkan, bagi mereka kontak mata tidak terlalu penting. Saat berbicara, orang Jepang biasanya memandang hidung atau leher lawan bicaranya. Orang Jawa dan orang Sunda tradisional tampaknya berprilaku mirip dengan orang jepang, sedangkan orang Batak seperti orang Amerika. Baik orang Jepang maupun orang Jawa menganggap menatap orang lain sebagai hal yang tidak sopan.[7]
2.      Sentuhan. Ilmu mengenai sentuhan disebut haptics. Haptics berasal dari bahasa Yunani haptesthai yang berarti menyentuh. Sentuhan akan dipahami berbeda tergantung dari budaaya masyarakatnta. Artinya, sebuah sentuhan bisa dipahami sebuah keakraban disebuah budaya, tetapi bisa dipahami penghinaan. Contohnya ketika ada orang yang habis naik haji, saat para tamu mengucapkan selamat datang dirumahnya, disambut dengan bersalaman disertai pelukan hangat. Setelah beberapa minggu kemudian, hal demikian tidak dilakukan lagi ketika bertemu. Pelukan dan cium pipi kanan dan kiri bukanlah sentuhan khas Indonesia, tetapi itu khas Negara Saudi Arabia. Bisa jadi orang yang habis naik haji tersebut terpengaruh budaya Arab. Namun setelah pulang ke tanah air, kembali ke selera asal budaya khas Indonesia. Jadi, budaya sentuhan pada budaya tertentu sangat susah dilakukan pada budaya lain. Semua memiliki ciri khas masing-masing.[8]
3.      Parabahasa. Perhatikan seseorang yang sedang berbicara, bukan pada apa yang dikatakan, fokuskan pada aktivitas bagaimana kecepatan suara, pilihan kata yang dipakai, dialek yang digunakan, volume suara, dan intonasi. Aktivitas yang diamati tersebut dinamakan parabahasa (paralanguage) atau vokalika (vocalics). Contohnya dalam sebuah forum ada seseorang yang pilihan katanya di campur-campur (bicara dengan bahasa indonesia diselingi bahasa Inggris atau bahkan bahasa asing lainnya). Parabahasa ini untuk menunjukkan kelas seseorang juga. Cara bicara orang Jawa lebih lembut ketimbang orang batak. Bahkan ketika orang batak bicara biasa terkesan seperti orang yang marah atau menantang karena nada berbicata orang batak yang tinggi. Perbedaan pengucapan dengan pemahaman akan berbeda sebab sebagaimana dikatakan Joseph A. Devito (2011), "parabahasa itu mengacu pada cara kita mengucapkan, bukan apa yang kita ucapkan"[9]
4.      Penampilan fisik. Kesan seseorang akan terbangun dalam otaknya saat melihat pertama dan sesuatu yang sifatnya fisik. Contohnya wanita Arab yang memakai jilbab panjang dan bercadar dianggap shaleh karena telah menutup seluruh auratnya oleh orang yang baru pertama kali melihatnya, padahal mereka bercadar untuk menghindari debu di Arab. Di Amerika, seorang pengacara terkadang meminta terdakwa bertubuh normal yang ditanganinya, terutama terdakwa perempuan, untuk mengenakan busana yang lebih longgar, agar ia tampak lebih kurus.tujuannya agar penampilannya mendapat simpati para hakim dan diberi hukuman lebih ringan.[10]
5.      Proksemik. Proksemik (proxemics) adalah bahasa nonverbal yang membahas tentang ruang dan bagaimana kita menggunakan ruang untuk berkomunikasi. Setiap budaya mempunyai norma dalam menggunakan ruang. Pada masyarakat tertentu ada budaya sungkem, ada juga tradisi minum teh untuk menghormati tamu. Budaya masyarakat seperti ini tercermin dari ruangan yang disediakan. Di Keraton Yogyakarta ada adat pisowanan agung (menghadap raja), semua duduk dilantai kecuali raja. Tentu ruangannya diciptakan sedemikian rupa sehingga adat keraton itu tetap terpelihara. Di Jepang ada budaya minum teh dengan ruangan khusus yang disediakan. Jadi, setiap budaya memiliki norma dalam menggunakan atau memanfaatkan ruang.[11]
6.      Kronemik. Studi tentang waktu disebut dengan chronemics (kronemik). Secara ringkas, kronemik bisa dikatakan bagaimana kita mempersepsikan dan menggunakan waktu untuk mengidentifikasi identitas dan komunikasi. [12] Misalnya saja, orang Indonesia sedang berjalan dengan orang Barat untuk suatu tujuan. Ditengah jalan orang Indonesia ini ketemu dengan teman lamanya. Karena lama tidak ketemu ngobrol kesana kemari sehingga menghabiskan waktu yang sudah direncanakan. Orang Barat yang bersama anda itu bisa jadi jengkel dan memberikan kritikan bahwa waktunya tersita dan menuduh orang indonesia tidak menghargai waktu. Sementara itu, orang Indonesia merasa biasa saja, namanya juga ketemu teman lama jadi untuk menghormati dan simbol keakraban ngobrol hal biasa. Terjadilah percekcokan keduanya dengan tanpa ada jalan keluar. Orang Indonesia pun menuduh bahwa oang Barat itu tidak bisa menghormati orang. Problemnya bukan pada masalah siapa yang benar dan siapa yang salah, tetapi ada pada perbedaan budaya dalam menghargai waktu[13].
7.      Keheningan. Seseorang menggunakan keheningan untuk mengomunikasikan sesuatu pada orang lain. Orang lain tentu akan menangkap makna yang berbeda-beda.
8.      Warna. Warna menginformasikan pesan-pesan tertentu pada orang lain. Seseorang tidak harus berkata lisan untuk menunjukan pesan tertentu ia cukup memakai warn tertentu yang sudah disepakati oleh sebuah komunitas. Misalnya di Indonesia warna menunjukan suasana emosional. Saat sedang berkabung orang-orang terbiasa menggunakan pakaian warna hitam karena warna hitam identik dengan warna susah. Warna juga menunjukkan afiliasi politik. Di Indonesia warna merah, biru, kuning, orange hitam, putih, atau perpaduan warna tertentu menunjuk pada afiliasi politik tertentu. Misalnya Megawati Soekarno Putri sering memakai merah dalam setiap kesempatan karena bendera partainya berwarna mereka.[14]
9.      Artefak. Artefak adalah benda apa saja yang dihasilkan kecerdasan manusia. Secara historis artefak merupakan benda arkeologi atau peninggalan sejarah yang dibuat dan dimodifikasi manusia. Artefak mengekspresikan identitas etnis. Indonesia adalah negara dengan beragam suku, bahasa dan budaya. Masing-masing daerah memiliki ciri khas benda atau senjata yang mencirikan daerah tersebut.[15]
Komunikasi Non Verbal sebagai Proses Simbolik
            Proses dengan mana manusia secara arbitrer menjadikan hal-hal tertentu untuk mewakili hal-hal lainnya bisa disebut proses simbolik. Kapanpun dua atau lebih manusia dapat berkomunikasi satu sama lain, mereka dapat, berdasarkan persetujuan bersama, menjadikan sesuatu sebagai mewakili sesuatu lainnya.[16] Kita, sebagai manusia, secara unik bebas menghasilkan, mengubah dan menentukan niali-nilai bagi simbol-simbol sesuka kita. Kebebasan dalam menciptakan simbol-simbol bagi simbol-simbol lainnya adalah penting bagi apa yang kita sebut proses simbolik.
            Kemana pun kita berpaling, kita melihat proses simbolik yang sedang berlangsung. Bulu-bulu unggas yang dipakai di kepala atau strip strip pada lengan dapat dijadikan lambang kepangkatan negara, salib dapat melambangkan kepercayaan. Proses simbolik menembus kehidupan manusia dalam tingkat paling primitif dan juga tingkat paling beradab. [17]
Pada zaman Veblen, kulit berwarna coklat gelap menunjukkan kehidupan di ladang pertanian dan pekerjaan diluar rumah lainnya. Namun dewasa ini kulit yang pucat menunjukan keterkurungan di kantor-kantor dan pabrik-pabrik, sementara kulit berwarna coklat gelap mengisyaratkan kehidupan yang senang- tamasya ke Florida, Sun Valley, dan Hawai. Jadi kulit berwarna gelap karena sinar matahari yang dulu dianggap buruk karena melambangkan kerja keras, sekarang dianggap elok karena melambangkan kesenangan. Dan orang-orang berkulit pucat di New York, Chicago, dan Toronto uang tak dapat bertamasya pada musim dingin ke West Indies, merasa senang mencoklatkan kulit mereka dengan cairan berwarna coklat tua dari apotek.
Makanan juga bersifat simbolik. Peraturan-peraturan makan dalam agama katolik, yahudi, dan islam dilaksanakan untuk melambangkan ketaatan pada agama. Makanan-makanan khusus digunakan untuk melambangkan festival-festival dan peristiwa-peristiwa khusus hampir disetiap negeri. Misalnya kue buah ceri atau Cherry pie pada hari lahir George Washington.[18]

Bahasa Non Verbal dalam Proses Komunikasi Antar Budaya
Hubungan antara komunikasi nonverbal dan kebudayaan sangat jelas karena keduanya dipelajari, diwariskan, dan melibatkan pengertian yang harus dimiliki bersama.[19]
Banyak perilaku nonverbal dipelajari secara kultural. Sebagaimana aspek verbal, komunikasi nonverbal juga atau ditentukan oleh kebudayaan, yaitu sebagai berikut.
1.      Kebudayaan menentukan perilaku nonverbal yang mewakili atau melambangkan pemikiran, perasaan, keadaan tertentu dari komunikator.
2.      Kebudayaan menentukan waku yang tepat atau layak untuk mengomunikasikan pemikiran, perasaan dan keadaan internal. Jadi walaupun perilaku-perilaku yang memperlihatkan emosi ini banyak bersifat universal, perbedaan kebudayaan dalam menentukan waktu, pelaku dan tempat emosi-emosi itu dapat diperlihatkan
Pengenalan dan pemahaman tentang pengaruh kebudayaan pada interaksi nonverbal merupakan salah satu kunci keberhasilan dalam komunikasi antar budaya, karena alasan berikut.
1.      Dengan mengerti pola-pola dasar pengetahuan nonverbal dalam suatu kebudayaan, kita dapat mengetahui sikap dasar dari suatu kebudayaan tersebut. Misalnya, dengan memperhatikan tindak-tanduk para pegawai pria Jepang dalam membuat pertemuan di restoran pada malam hari, kita dapat mempelajari sedikit tentang sikap mereka terhadap pekerjaan dan wanita.
2.      Pola-pola perilaku nonverbal dapat memberikan "informasi" tentang sistem nilai suatu kebudayaan, misalnya, konsep waktu kebudayaan dengan orientasi pada "doing" (aktif melakukan sesuatu) [20] , seperti AS akan cenderung menganggap situasi tanpa kata-kata sebagai membuang-buang waktu. Bagi kebudayaan dengan orientasi pada "doing" (keberadaan), suasana hening dalam pembicaraan memiliki nilai positif karena penting untuk pemahaman diri dan kesadaran akan keadaan.
3.      Pengetahuan tentang perilaku nonverbal dapat membantu untuk menekan rasa etnosentrisme. Misalnya, kita mungkin akan lebih penggunaan jarak ruang oleh orang lain, jika kita sadar akan karakteristik kebudayaan yang mendasarinya, yang mencerminkan sesuatu tentang pengguna dan kebudayaannya.[21]



[1] Deddy Mulyana, Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar, PT Remaja Rosdakarya, Bandung, 2015, hlm. 343.
[2] Ibid., hlm. 344
[3] Ibid., hlm. 353
[4] Ibid., hlm. 355-359
[5] Nurudin, Ilmu Komunikasi, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2016, hlm. 149.
[6] Deddy Mulyana, op. cit. hlm. 372
[7] Deddy Mulyana, op. cit. hlm. 375
[8] Nurudin, op. cit. hlm. 151-153
[9] Nurudin, op. cit. hlm. 155-154
[10] Deddy Mulyana dkk, Komnikasi Media dan Masyarakat Membeda Absurditas Budaya Indonesia, PT Remaja Rosdakarya, Bandung, 2016,  hlm. 37.
[11] Nurudin, op. cit. hlm. 166
[12] Nurudin, op. cit. hlm. 167
[13] Nurudin, op. cit. hlm. 170-171
[14] Nurudin, op. cit. hlm. 178
[15] Nurudin, op. cit. hlm. 179
[16] Deddy Mulyana dan Jalaludin Rakhmat, Komunikasi Antar Budaya, PT Remaja Rosdakarya, Bandung, 1993, hlm. 101.
[17] Ibid., hlm. 102
[18] Ibid., hlm. 103
[19] Aang Ridwan, Komunikasi Antar Budaya Mengubah Presepsi dan Sikap dalam Meningkatkan Kreativitas Manusia, CV Pustaka Setia, Bandung, 2016, hlm. 157.
[20] Ibid., hlm. 157
[21] Ibid., hlm. 158

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

MATERI KOMUNIKASI LINTAS BUDAYA: Komunikasi Non Verbal Dalam Budaya

Komunikasi non verbal             Antropolog Edward T. Hall (1973) berpendapat bahwa budaya adalah komunikasi dan komunikasi adalah buda...